Selasa, 28 Juli 2009

El Nino Mulai Ancam Indonesia

Gejala El Nino pada musim kemarau tahun ini mulai terlihat nyata pada Juni ini. Dampaknya adalah curah hujan di bawah normal di kawasan timur Indonesia akan mencapai puncaknya pada Agustus hingga Oktober mendatang. Menghadapi anomali cuaca, masyarakat perlu menghemat air dan mengubah pola tanam.

Hal ini disampaikan Pelaksana Tugas Deputi Bidang Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Soeroso Hadiyanto di Jakarta, Senin (22/6). Berdasarkan data yang diperoleh dari International Research Institute di Amerika Serikat, persentase peluang terjadinya El Nino mulai terlihat lebih tinggi daripada kondisi netral, Mei lalu.

Pada bulan ini peluang munculnya anomali cuaca ini kian nyata sekitar 56 persen, sedangkan peluang cuaca normal 43 persen. Potensi La Nina yang bertahan beberapa tahun terakhir kini tinggal 1 persen.

Gejala El Nino ditandai dengan menghangatnya suhu permukaan laut di kawasan timur ekuator Pasifik dekat perairan Peru. Suhu muka laut di kawasan itu saat ini mulai menghangat atau naik + 0,5 derajat celsius, sedangkan bulan Oktober akan menjadi + 1 derajat celsius.

Sebaliknya, perairan di utara Pulau Papua atau barat ekuator Pasifik akan cenderung mendingin. Ini yang menyebabkan tidak terjadi penguapan atau pembentukan awan hingga kurang hujan di kawasan timur Indonesia. Namun, menurut Soeroso, bulan ini suhu muka laut di perairan wilayah Indonesia dalam kondisi normal.

Karena suhu muka laut menghangat di timur Pasifik, negara- negara di barat Pasifik, seperti AS dan Amerika Latin, sebaliknya mengalami curah hujan tinggi dan potensi datangnya badai tropis lebih tinggi dari kondisi normal, sedangkan di kawasan Atlantik curah hujan lebih sedikit.

Hal tersebut dikuatkan hasil pantauan Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional AS (NOAA) awal Juni lalu, seperti dikutip kantor berita Associated Press (AP), 9 Juni 2009. NOAA mengidentifikasi adanya peningkatan suhu laut di kawasan timur Laut Pasifik.

Puncak El Nino

Soeroso menjelaskan, peluang El Nino tertinggi akan terjadi sekitar Agustus, September, dan Oktober mendatang yang mencapai 63 persen. Setelah itu persentasenya menurun hingga April 2010, yaitu menjadi sekitar 45 persen sama dengan peluang cuaca netral. Secara umum, antara Juni-Desember 2009, persentase peluang El Nino 55-63 persen.

”Kalau puncak El Nino pada Agustus atau September, akan ada peluang kemarau lebih panjang di Indonesia,” kata Kepala Bidang Analisis Iklim dan Kualitas Udara BMKG Soetamto di Jakarta, Senin. Bila bulan Juli-Agustus kecenderungannya menguat, kemarau akan mundur hingga bulan November-Desember.

Sementara itu, Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin mengatakan, pada Desember 2009 anomali suhu muka laut melebihi 2 derajat celsius. Ini merupakan gejala akan terjadi El Nino yang sama kuat dengan yang terjadi tahun 1997.

”Karena itu, masyarakat perlu diimbau segera melakukan penghematan air untuk menyambut kemarau panjang. Kebijakan pemerintah perlu disiapkan,” tegasnya.

Dia mengingatkan, menghadapi El Nino, daerah yang perlu waspadai kelangkaan hujan adalah NTT dan NTB, wilayah selatan Papua dan Maluku serta Sulawesi Selatan, pantai utara Jawa, dan Lampung.

”Saat ini ketersediaan air tanah permukaan 40-60 persen. Artinya, mencukupi hingga tiga bulan mendatang dalam kondisi tak ada hujan,” jelasnya.

Tahun 1997 Indonesia mengalami kekeringan panjang sebagai dampak El Nino. Sawah, sungai, dan badan air mengering, hutan gambut terbakar di Sumatera dan Kalimantan sehingga Indonesia diposisikan sebagai emiter gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia di bawah AS dan China.

Selasa, 14 Juli 2009

Pendaratan di Bulan: Akal Sehat Vs Teori Konspirasi

Pendaratan di Bulan—yang pertama dilakukan oleh astronot Amerika Serikat, Neil Armstrong, 20 Juli 1969—telah dicatat dalam sejarah sebagai salah satu pencapaian paling besar dari umat manusia. Namun, kini, setiap kali orang ingin merayakannya, berseliweran artikel yang melecehkannya. Kini memang dikenal istilah ”kontroversi pendaratan di Bulan”, atau malah ”The Great Moon Hoax” atau ”Kebohongan Bulan yang Hebat”.

Menurut Dr Tony Phillips, seorang pendidik sains, di situs Science@NASA, semua bermula ketika stasiun televisi Fox menayangkan program TV berjudul "Conspiracy Theory: Did We Land on the Moon?", 15 Juli 2001. Sosok yang tampil dalam tayangan itu menyatakan bahwa teknologi Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA) pada tahun 1960-an belum mampu untuk mewujudkan misi pendaratan di Bulan yang sesungguhnya. Namun, karena tidak ingin kalah dalam lomba ruang angkasa dalam konteks Perang Dingin, NASA lalu menghidupkan Program Apollo di studio film.

Dalam skenario ini, langkah pertama Neil Armstrong yang bersejarah di dunia lain, juga pengembaraan dengan kendaraan Bulan, bahkan ayunan golf astronot Al Shepard di Fra Mauro (salah satu tempat di Bulan) semua palsu!

Ya, menurut acara TV Fox di atas, NASA menjadi produser film yang bloon 30 tahun sebelumnya (dari saat acara tersebut ditayangkan tahun 2001). Sebagai contoh, pakar dalam acara Conspiracy Theory menunjuk bahwa dalam foto astronot yang dikirim dari Bulan tidak menampakkan bintang-bintang di langit Bulan yang gelap. Apa yang terjadi? Apakah pembuat film NASA lupa menyalakan konstelasi bintang?

NASA menyebutkan, perkara itu sudah dijawab oleh fotografer bahwa memang sulit untuk memotret satu obyek yang sangat terang dan satu obyek lain yang sangat redup di lembar film yang sama karena memang emulsi film pada umumnya tidak punya cukup ”rentang dinamik” untuk mengakomodasi obyek yang sangat berbeda tingkat terangnya. Astronot dengan pakaian angkasanya jadi obyek yang terang, dan kamera yang diset untuk memotret mereka akan membuat bintang-bintang latar belakang terlalu lemah untuk dilihat.

Lainnya yang dipersoalkan adalah foto astronot yang menancapkan bendera di permukaan Bulan, mengapa benderanya seperti berkibar bergelombang? Mengapa bisa terjadi demikian, padahal tidak ada angin di Bulan? Dijelaskan, tidak semua bendera yang berkibar membutuhkan angin. Itu karena astronotketika menanam tiang benderamemutar-mutarnya agar menancap lebih baik. Itu membuat bendera berkibar.

NASA dalam kaitan tuduhan rekayasa pendaratan Bulan ini mempersilakan siapa pun yang tetap meragukan pendaratan di Bulan untuk mengakses situs-situs BadAstronomy.com dan Moon Hoax, yang merupakan situs independen, tidak disponsori NASA. Astronom Martin Hendry dari Universitas Glasgow dalam edisi khusus ”40 Tahun Pendaratan di Bulan” Knowledge yang diterbitkan BBC juga menguraikan lagi tangkisan terhadap Teori Konspirasi.

Akal sehat


Namun, menurut Tony Phillips, bantahan paling baik atas tuduhan Kepalsuan Bulan ini adalah akal sehat. Ada selusin astronot yang berjalan di Bulan antara 1969 dan 1972. Di antara mereka masih ada yang hidup dan bisa memberikan kesaksian. Mereka juga kembali ke Bumi tidak dengan tangan kosong. Astronot Apollo membawa kembali 382 kg batu Bulan ke Bumi.

Kalau orang meragukan batu ini dari Bulan, Ilmuwan Kepala di Sains dan Eksplorasi Planet di Pusat Ruang Angkasa Johnson David McKay menegaskan bahwa batuan Bulan sangat unik, jauh berbeda dengan batuan Bumi. Pada sampel Bulan tadi, menurut Dr Marc Norman, ahli geologi Bulan di Universitas Tasmania, hampir tidak ada tangkapan air di struktur kristalnya. Selain itu, mineral lempung yang banyak dijumpai di Bumi sama sekali tidak ada di batuan Bulan. Sempat ditemukan partikel kaca segar di batuan Bulan yang dihasilkan dari aktivitas letusan gunung berapi dan tumbukan meteorit lebih dari 3 miliar tahun silam. Adanya air di Bumi dengan cepat memecahkan kaca vulkanik seperti itu hanya dalam tempo beberapa juta tahun.

Mereka yang pernah memegang batu Bulankalau di AS, seperti yang ada di Museum Smithsoniandipastikan akan melihat bahwa batu tersebut berasal dari dunia lain karena batu yang dibawa angkasawan Apollo dipenuhi kawah-kawah kecil dari tumbukan meteoroid, dan itu menurut McKay hanya bisa terjadi pada batuan dari planet (atau benda langit lain) dengan atmosfer tipis atau tanpa atmosfer sama sekali, seperti Bulan.

Dalam jurnal Knowledge, Martin Hendry masih mengemukakan sederet tangkisan terhadap argumen yang diajukan oleh penganut Teori Konspirasi, seperti tentang sudut bayangan dalam foto yang aneh. Lainnya lagi yang dijawab adalah mengapa tidak ada kawah ledakan di bawah modul Bulan (yang disebabkan oleh semburan roket modul pendarat); lalu juga mengapa sabuk radiasi Bumi tidak menyebabkan kematian pada astronot? Yang terakhir, mengapa tidak ada semburan bahan bakar yang tampak ketika modul pendarat lepas landas meninggalkan Bulan? Jawabannya karena modul Bulan menggunakan bahan bakar aerozine 50, campuran antara hidrazin dan dimethylhydrazine tidak simetri yang menghasilkan asap tidak berwarna, meski kalau ada warna sekalipun kemungkinan besar juga tak terlihat dengan latar belakang permukaan Bulan yang disinari Matahari.

Masa depan


Kini, umat manusia kembali berada dalam satu lomba angkasa baru. Dalam lomba sekarang ini, Bulan tak hanya menjadi destinasi akhir, tetapi akan dijadikan sebagai batu lompatan untuk menuju destinasi lebih jauh, misalnya Planet Mars.

Tahun 2004, Presiden (waktu itu) George W Bush mencanangkan Kebijakan Eksplorasi Angkasa yang sasarannya adalah kembali ke Bulan tahun 2020 dan selanjutnya ke Mars. Jepang tahun 2005 juga mencanangkan tekad serupa, pada tahun 2025. Kekuatan antariksa lain yang harus disebut dan juga telah menyatakan tekad mendaratkan warganya di Bulan adalah Rusia, China, dan India, juga tahun 2020.

Dalam perspektif inilah terlihat bagaimana bangsa-bangsa besar dunia bekerja keras mewujudkan impian besar. Ruang angkasa sebagai Perbatasan Terakhir (The Final Frontier) tidak saja menjanjikan prestise, tetapi juga masa depan, dan keyakinan bahwa, dengan bisa hadir di sana, ada banyak perkara di Bumi yang akan bisa ikut dibantu penyelesaiannya.